okeborneo.com, SAMARINDA— Pengesahan RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan) menempuh perjalanan panjang yang berliku. Bahkan, RUU tersebut disambut pertentangan dari berbagai pihak baik akademisi hingga politisi yang duduk di parlemen.
Namun setelah perjuangan panjang dan selama kurang lebih 6 tahun akhirnya DPR RI resmi mengesahkan RUU TPKS menjadi UU TPKS.
Aktivis Perempuan, Andi Wahyuni Muzakkir mengatakan sejarah mencatat pada 12 april 2022 telah lahir buah perjuangan kolektif dari para korban dan pembela korban yakni dengan disahkannya UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual).
“Kita semua tahu bagaimana kompleksnya permasalahan Tindakan Pidana Kekerasan Seksual di negara kita ini. Dimulai dari penyelesaiannya secara kekeluargaan atau mediasi, tidak adanya batas antara korban dan pelaku selama proses hukum berjalan sehingga tidak jarang menimbulkan trauma dan tidak adanya bantuan pemulihan korban kekerasan seksual,” ungkapnya.
“Terlebih kasus kekerasan seksual terjadi atas relasi kuasa entah itu didalam ranah publik bahkan sampai dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman,” tambahnya.
Pengesahan UU TPKS ini adalah bentuk hadirnya negara dalam memberikan jaminan perlindungan secara hukum untuk korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“UU TPKS tidak akan berjalan secara maksimal jika kita semua tidak bekerja sama dalam mengawal kasus kekerasan seksual,” tegas Andi Wahyuni Muzakkir ,Demisioner Ketum KOHATI Samarinda.
“Maka tugas kita setelahnya adalah mengawal implementasi UU TPKS yang telah ditetapkan ini,” tandasnya.
Lebih lanjut diungkapkan Andi, kalau kasus kekerasan seksual hingga saat ini masih sangat banyak yang belum terselesaikan.
“Dan harus diketahui pula selain tingginya angka kekerasan seksual yang terungkap, tinggi pula angka korban yang tidak berani melaporkan kasus serupa,” terangnya.
Disebutkan pula sebagai bentuk implementasi mengawal undang-undang ini, Andi Wahyuni juga akan membentuk komunitas yang fokus terhadap permasalahan-permasalahan TPKS.
“Kami akan membentuk ‘Distrik Puan’ yang bergerak mulai dari media sosial dan poster agar masyarakat tahu bahwa kita disini ada sebagai teman korban, terkait dengan masalah mental dan permasalahan kekerasan seksual terhadap perempuan,” pungkasnya. (bdp/ob1/ef)