okeborneo.com, KUTAI KARTANEGARA – Tumpukan botol plastik, kaleng, hingga sampah organik setiap hari menumpuk di Loa Kulu. Namun, di tangan pengelola TPS3R Barokah, limbah rumah tangga itu tak sekadar berakhir di tempat pembuangan, melainkan diolah agar bernilai ekonomi. Kuncinya ada pada kebiasaan sederhana: memilah sampah sejak dari rumah.
Ketua TPS3R Barokah, Muhammad Fadli, menegaskan bahwa budaya memilah sampah adalah fondasi utama keberhasilan pengelolaan. “Kalau kesadaran memilah dari rumah sudah terbentuk, otomatis beban TPS3R berkurang dan masyarakat bisa mendapatkan keuntungan dengan menyetorkan sampah bernilai ke bank sampah,” ujarnya, Rabu (24/9/2025).
Ia menjelaskan, pemisahan organik dan anorganik membuat alur pengolahan lebih efisien. Sampah organik dapat diolah menjadi kompos, sementara sampah anorganik bernilai jual bisa ditukar langsung dengan uang. “Dengan begitu, pola pikir kita berubah, sampah bukan lagi beban, tapi sumber daya,” kata Fadli.
Sebagai langkah konkret, TPS3R Barokah aktif turun ke sekolah-sekolah untuk memberikan edukasi. Harapannya, generasi muda bisa terbiasa memilah sampah sejak dini dan menularkan kebiasaan itu ke rumah masing-masing. “Kalau anak-anak sudah terbiasa, kebiasaan ini bisa menular ke rumah dan lingkungan,” jelasnya.
Transformasi TPS3R Barokah sendiri terbilang cepat. Dari semula hanya tempat penampungan sementara, kini berfungsi sebagai pusat pengolahan modern dengan dukungan fasilitas dan kelembagaan dari Pemerintah Kabupaten Kukar melalui Dinas Lingkungan Hidup.
Dengan mengusung konsep reduce, reuse, recycle, pengelola berharap Loa Kulu bisa menjadi percontohan pengelolaan sampah berkelanjutan di Kutai Kartanegara. “Kalau kesadaran memilah bisa menjadi budaya, Loa Kulu bisa jadi model pengelolaan sampah berkelanjutan di Kukar,” pungkas Fadli. (adv/dlhkkukar/atr)








