okeborneo.com, SAMARINDA-Seorang aktivis hak asasi manusia (HAM) yang mengabdi dengan ikhlas dan berintegritas sosok yang dekat, bahkan tidak berjarak dengan masyarakat kecil. Sosok gagah keturunan Arab yang menjadi pejuang HAM tak kenal lelah melawan praktek otoritarian dan militeristik pada saat itu bernama Munir Said Thalib.
Pendidikan tingginya di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang dan lulus pada tahun 1990. Sebagai seorang aktivis kampus, Munir pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Hukum dan Aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Kader HMI Cabang Samarinda Sayid Ferhat Hasyim mengatakan Kali ini, di tahun 2021, dimana biasanya ulang tahun ke 17 adalah hal yang manis. Sweet seventeen, usia itu menjadi pahit dan kelam.
“17 tahun sudah kasus pembungkaman ini tidak dituntaskan. Kasus Munir akan kadaluarsa secara hukum pidana di tahun depan sehingga penyelidikannya tidak bisa dilanjutkan. Hal ini diatur dalam Pasal 78 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),” ujarnya.
Kasus yang bergulir sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga kini telah memasuki periode kedua Presiden Joko Widodo. Menangkap dan mengadili tumbal, tapi menyisakan para pemain dan dalang yang masih bebas tak terhalang.
Dikatakannya disisa-sisa tahun terakhir apabila kasus ini sampai kadaluarsa. Ini cerminan bahwa bangsa ini benar-benar hancur lebur penegakan hukumnya.
“Ini penegasan bahwa sejak dulu di bangsa ini orang-orang yang suaranya tegak lurus dalam memperjuangkan kebenaran justru dihabisi dan dibungkam,” tegas mahasiswa Untag Samarinda ini.
Ferhat sapaan akrabnya mengatakan tidak terlalu peduli dengan banyak janji presiden, namun untuk janji bapak Joko Widodo untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM atas Kanda Munir. Apabila tidak bisa ditepati di dunia, janji itu akan ditagih sampai di akhirat.
“Meski Racunmu menjalar di jalan-jalan darahku, takkan sanggup membunuh kejujuran juga keberanian,” ucapnya.
Untuk diketahui, Munir Said Thalib mengawali karier dalam kasus-kasus pembelaan HAM dengan menjadi relawan di LBH Surabaya pada 1989 hingga akhirnya menjadi Direktur LBH Semarang di tahun 1996 dan mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras).
Dalam perjalanan hidupnya, Munir dengan konsisten mengabdikan diri untuk membela korban dari berbagai macam pelanggaran HAM.
Munir tercatat sering kali berdiri menjadi penasihat hukum seperti kasus Marsinah di tahun 1994, kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta tahun 1997-1998, kasus pembunuhan terhadap masyarakat sipil di Tanjung Priok, kasus penembakan mahasiswa di Semanggi pada Tragedi Semanggi I dan II dan masih banyak lagi.
Diketahui juga Munir memainkan peran penting dalam membongkar keterlibatan aparat keamanan dalam pelanggaran HAM di Aceh, Papua dan Timor Leste (dulu Timor Timur).
Selain itu, Munir juga ikut merumuskan rekomendasi kepada pemerintah untuk membawa para pejabat tinggi yang terlibat dalam pelanggaran HAM di tiga daerah itu ke pengadilan.
Kemudian, pada September 1999, Munir ditunjuk menjadi anggota Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP-HAM) Timor Timur.
Namun 7 September 2004, di Pesawat Garuda GA-974 kursi 40-G beliau diracun dalam penerbangannya menuju Amsterdam untuk melanjutkan studi di Universitas Ultrecht.
“Munir meninggal dalam keadaan mulia, yaitu dalam perjalanan untuk menuntut ilmu. Beliau dilenyapkan, dibunuh, dan dihabisi. Tapi Munir tidak pernah lenyap, Munir tidak pernah mati, dan Munir tidak akan habis,” tutupnya tegas. (bdp/ob1/ef)