okeborneo.com, SAMARINDA – Upaya pengungkapan pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, 17 tahun silam dikhawatirkan akan terhenti tanpa dihukum dan ditetapkannya dalang dalam peristiwa ini karena mendekati tahun akhir masa kedaluwarsa.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) batas waktu penuntutan terhadap perkara pembunuhan dengan ancaman hukuman mati hanya 18 tahun sejak perkara itu terjadi.
Tragedi dibunuhnya Munir sendiri terjadi pada 7 September 2004 lalu sehingga akan kedaluwarsa pada tahun 2022.
Ketua Komisariat HMI Untag Samarinda, Andi Irwansyah Jayadi mengatakan peran penting Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) untuk menyelidiki serius kasus pembunuhan tersebut hingga tuntas sampai ke otak peristiwa kejahatan tersebut.
Hal ini dikarenakan pembunuhan Munir merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana sesuai yang tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Kemudian, Munir dibunuh dengan sebuah serangan yang dilakukan secara sistemik dan langsung terhadap penduduk sipil. Hal itu diatur dalam Pasal 7 UU Pengadilan HAM.
“Kami menilai pembunuhan itu sudah memenuhi syarat agar perkara dinyatakan sebagai pelanggaran HAM Berat,” ucapnya.
Andi mengatakan keterlibatan Komnas HAM menjadi penting agar kasus itu tak menggunakan konsep hukum pidana biasa yang mengenal kedaluwarsa atau batas waktu penuntutan serta agar kasus diusut lewat mekanisme dugaan pelanggaran HAM Berat.
“Sebagaimana diatur Pasal 18 UU Pengadilan HAM, Komnas HAM satu-satunya lembaga negara yang diberikan mandat untuk menyelidiki pelanggaran HAM yang berat,” jelasnya.
Proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan terhadap kasus Cak Munir harus dinyatakan tidak mengenal batas waktu sebagaimana dalam konsep hukum pidana biasa.
“Karena ini menyangkut sifat dari kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat,” sambung Andi yang juga Sekertaris Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Hukum Untag Samarinda.
Lebih lanjut dikatakannya, Namun disayangkan negeri ini memiliki kemampuan pendek untuk mengingat dan mengungkap kejadian di masa lalu.
“Apa sebenarnya yang terjadi? Tidak satu pemimpin pun yang berani menyelesaikan semua ini,” tegasnya.
Andi juga mengatakan logika politik mungkin penting tetapi tentu patut mempertimbangkan logika kemanusiaan. Karena seringkali politik kita di atas logika kemanusiaan, mungkin ini menjadi harapan kita bersama untuk meletakkan logika kemanusiaan di atas logika lainnya.
“Tangisan kemanusiaan adalah tangisan sejarah. Kita perlu tangisan sejarah agar kita bangkit dengan logika kemanusiaan dan itu berarti Hak Asasi Manusia,” tegasnya.
Maka dari itu usut tuntas pembunuhan Munir dan pembunuhan aktivis lainnya di Indonesia, pelanggaran HAM tidak dibenarkan atas nama apapun. Dari rentetan peristiwa yang terjadi di negeri ini.
“Kami sebut ini adalah September Hitam karena sampai hari ini tidak ada satu pun yang diungkap siapa pelaku dan aktor dibelakangnya.” tutupnya. (bdp/ob1/ef)