okeborneo.com, SAMARINDA— Akademisi Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus Samarinda, Khairunnisah, mengapresiasi pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dalam rapat paripurna DPR RI 12 April 2022 lalu.
Ia menilai ini merupakan salah satu produk hukum yang sebelumnya telah ditunggu-tunggu untuk segera disahkan.
Karena dalam undang-undang tersebut mengatur mengenai sembilan poin jenis kekerasan seksual, yakni :
1. Pelecehan seksual nonfisik
2. Pelecehan seksual fisik
3. Pemaksaan kontrasepsi
4. Pemaksaan sterilisasi
5. Pemaksaan perkawinan
6. Penyiksaan seksual
7. Eksploitasi seksual
8. Perbudakan seksual
9. Kekerasan seksual berbasis elektronik.
“Mengapa dimasukkan kekerasan berbasis elektronik, hal ini karena mengingat saat ini zaman modern sehingga internet sangat mudah diakses, akan tetapi dalam kemudahan tersebut sering kali dimanfaatkan oleh oknum dan pastinya akan disalahgunakan,” jelas Nissa.
“Dan marak yang terjadi saat ini adalah kekerasan seksual berbasis elektronik karena mengikuti moderenisasi,” sambungnya.
Tak hanya itu, lanjut Nissa dengan disahkannya undang-undang ini juga menjadi kehadiran negara dalam hal memberikan perlindungan kepada korban tindak pidana kekerasan seksual saja.
“UU TPKS juga memuat penanganannya sampai pemulihan mulai dari psikis dan ekonomi dari para korban kekerasan seksual,” katanya.
Khairunnisah mengaku terharu sekaligus bangga kepada negara atas pengesahan UU TPKS.
“Apalagi saya seorang perempuan dan juga ibu yang dimana angka tertinggi itu sebagai korban itu adalah ibu dan anak,” sebutnya.
Lebih lanjut diungkapkan Nissa, UU TPKS ini juga menjawab keresahan perempuan dan ibu-ibu, Karena sebelum adanya UU TPKS ini kekerasan seksual terus meningkat dan saya berharap setelah disahkan UU TPKS dan dijalankan secara optimal itu dapat menurunkan angka kekerasan seksual yang ada di Indonesia.
“Dan untuk mengoptimalkan berjalannya undang-undang ini juga perlunya sinergitas antara akademisi, kalangan masyarakat, dan khususnya mahasiswa,” ungkapnya.
“Apalagi kekerasan seksual terjadi pada lingkungan pendidikan, jadi harus ada sinergitas antara dosen dan mahasiswa untuk tidak henti hentinya mengkampanyekan anti kekerasan seksual,entah dari sosialisasi atau edukasi,” sambungnya.
Ini salah satu upaya untuk pencegahan pada lingkungan pendidikan ataupun pada masyarakat luas.
“Jadi, UU TPKS sudah mewakili dan memberikan kepastian hukum kepada korban, mulai dari penanganan searah mulai dari gugatan dan akan didampingi,” tandasnya.
Khairunnisah juga berpesan, dengan mengkampanyekan anti kekerasan seksual adalah salah satu hal memberikan pesan dan edukasi kepada korban agar orang yang melihat kampanye ini untuk melaporkan kasusnya.
“Kalian tidak perlu takut karena ada undang-undang yang melindungi, ada Komnas perempuan sebagai wadah konsultasi dan kasus seperti itu tidak sepenuhnya aib tapi jika bersuara dan melapor itu adalah salah satu keberanian untuk membela hak sebagai korban,” jelasnya.
“Dan itu bisa dibilang pahlawan untuk diri sendiri karena berani membela hak-hak diri dan pastinya akan menjadi acuan untuk korban lainnya,” tutupnya. (bdp/ob1/ef)