okeborneo.com, SAMARINDA – Berbagai kajian akademik telah memaparkan beberapa persoalan pokok baik secara teknis maupun substantif atas Undang-Undang bermasalah inisiatif pemerintah, UU Omnibus Cipta Kerja merevisi 79 UU dan yang disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda yang juga tergabung dalam Aliansi Akademisi Tolak UU Omnibus Cipta Kerja, Herdiansyah Hamzah mengatakan beberapa masalah dari pemerintah dan DPR mengklaim UU ini bertujuan untuk memperbaiki iklim investasi karena dapat meningkatkan skor indeks kemudahan berbisnis (ease of doing business).
Skor indeks ini tidak hanya bermasalah karena mengutamakan liberalisme dan pertumbuhan ekonomi namun juga memberi ruang korupsi antara aktor-aktor negara dan kapitalisme internasional (Bank Dunia) untuk memanipulasi skor itu demi kepentingan sirkulasi kapital yang mengabaikan pencapaian tujuan kemakmuran publik.
“Kasus pengunduran diri direktur Bank Dunia karena telah memanipulasi skor indeks kemudahan berbisnis di Cina tahun 2020 adalah salah satu contoh penting,” ucap Castro sapaan akrabnya.
Klaim pemerintah untuk menarik investasi asing dan juga dengan alasan itu dapat membuka lapangan kerja yang lebih luas kepada rakyat hanyalah omong-kosong untuk mengelabuhi publik.
“UU ini pada kenyataannya justru telah banyak memangkas hak-hak buruh secara signifikan dan membuat lebih banyak peluang untuk memperlemah pengorganisasian buruh melalui fleksibilisasi tenaga kerja,” terangnya.
Dijelaskannya, peluang korupsi juga semakin terbuka lebar, di antaranya melalui pengaturan gratifikasi sebagai salah satu objek pajak maupun melalui pembentukan Lembaga Pengelola Investasi yang dapat mengelola sumber keuangan negara tanpa dapat dikenai pidana jika terjadi penyelewengan atau kerugian.
Hal ini membuka peluang pencarian rente yang lebih besar yang bertentangan dengan kepentingan ekonomi pasar.
“Ini juga sejalan dengan kepentingan pemerintah dan DPR yang telah melemahkan KPK terutama sejak 2019 untuk lebih memberi impunitas pada upaya-upaya perampokan kekayaan negara,” tegasnya.
Selain itu, Castro juga membeberkan UU ini juga telah melemahkan mekanisme kontrol publik atas ancaman kerusakan lingkungan yang mungkin dapat ditumbulkan oleh kegiatan bisnis perusahaan dengan membuat syarat dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) menjadi lebih fleksibel.
Lebih lanjut dikatakannya, awalnya pemerintah juga telah mengklaim bahwa UU Omnibus Cipta Kerja dapat mengatasi pungli dan tumpang tindih aturan karena adanya kewenangan pemerintah daerah yang besar dalam menerbitkan ijin usaha.
Namun UU ini kemudian membuka ruang bagi terjadinya resentralisasi terutama dalam kaitannya dengan pemberian ijin usaha dan dalam kewenangan tata ruang.
“Resentralisasi ini tidak lain merupakan upaya pemusatan korupsi dan rente oleh elite bisnis politik birokrat ditingkat pusat,” katanya.
Secara teknis, lanjut Castro penyusunan UU ini juga telah mengabaikan prinsip transparansi dan partisipasi dalam penyusunan UU.
Hal ini terbukti sejak awal pemerintah sangat tertutup dan merahasiakan proses penyusunan draf UU ini. Pemerintah bahkan mengancam anggota tim perumus agar tidak membuka informasi apapun kepada publik dalam proses tersebut.
“Jadi, Pembahasan di DPR atas RUU yang merevisi 79 UU yang terdiri dari kurang lebih 1000 halaman ini juga dilakukan kurang dari 1 tahun dengan hanya melalui 16 RDPU sedangkan jumlah RDPU dan penyusunanya yang kurang lebih setara dengan pembahasan RUU lainnya yang hanya terdiri dari puluhan halaman,” jelasnya.
Kemudian pemerintah juga telah berulangkali mengubah isi RUU yang telah disetujui oleh DPR, yang menghasilkan banyak versi akhir sebelum disahkan sebagai UU. “Ini menunjukkan adanya tarik-menarik dan tawar-menawar kepentingan antar elite bisnis, politik, birokrat termasuk antara mereka yang ada di daerah dan di pusat kekuasaan,” ungkapnya.
“Ini juga bukti bahwa UU ini cacat prosedur dan seharusnya tidak dapat diberlakukan sebagai UU yang sah,” sebutnya.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ini juga mengatakan pengesahan UU Omnibus Cipta Kerja serta UU bermasalah lainnya seperti Revisi UU Minerba dan Revisi UU MK dengan memanfaatkan situasi pandemi.
“Revisi UU KPK tahun 2019 telah berkontribusi memperparah kerusakan demokrasi dan tata hukum yang adil di Indonesia. Tidak hanya DPR, pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo secara aktif berkontribusi membuat kerusakan ini,” pungkasnya. (bdp/ob1/ef)