okeborneo.com, KUTAI KARTANEGARA – Penutupan kegiatan perkebunan dan industri pengolahan sawit bukan sekadar memadamkan mesin pabrik. Proses ini harus dijalankan dengan prosedur ketat agar tidak meninggalkan dampak lingkungan maupun masalah sosial. Hal itu menjadi sorotan utama Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kutai Kartanegara dalam pembahasan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang berlangsung di Kantor DLHK Kukar, Kamis (11/9/2025).
Ketua Tim Penyusun AMDAL DLHK Kukar, Muhammad Yahya, menjelaskan bahwa perusahaan sawit yang berhenti beroperasi tetap memiliki tanggung jawab hukum. “Ada prosedur penutupan yang harus dijalankan agar tidak menimbulkan masalah lingkungan maupun sosial,” ujarnya.
Salah satu poin yang ditekankan adalah kewajiban mengeluarkan seluruh peralatan perkebunan dan pabrik dari lokasi. Proses ini wajib dilakukan melalui jalur darat dengan pengawasan ketat. “Semua harus berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan Kukar agar tidak mengganggu lalu lintas dan tetap aman,” kata Yahya.
Selain aspek teknis, persoalan sosial juga menjadi perhatian. Penghentian operasi akan berdampak pada tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan. Menurut Yahya, perusahaan wajib memastikan hak-hak karyawan tetap dipenuhi. “PHK dilakukan bertahap sesuai berkurangnya aktivitas. Semua hak pekerja wajib diberikan sesuai aturan ketenagakerjaan,” tegasnya.
DLHK Kukar juga mengingatkan bahwa izin Hak Guna Usaha (HGU) maupun perizinan lain harus dikembalikan kepada pemerintah daerah. Apabila izin tidak diperpanjang, maka lahan otomatis kembali ke otoritas setempat.
Dengan kepatuhan terhadap prosedur hukum, aturan lingkungan, serta pemenuhan hak pekerja, DLHK Kukar menegaskan bahwa penutupan operasi harus berlangsung tertib, transparan, dan tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat sekitar. (adv/dlhkkukar/atr)








