okeborneo.com,KUTAI KARTANEGARA– Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur, menghadapi tekanan serius terhadap kelestarian kawasan hutannya. Dari total wilayah Kukar yang mencapai 2,7 juta hektare, sekitar 61 persen merupakan kawasan hutan. Namun, luas kawasan hijau ini terus tergerus akibat alih fungsi lahan, terutama oleh aktivitas pertambangan, perkebunan, dan pemukiman.
Kepala Seksi Sumberdaya Hutan (SDH), La Taati, mengungkapkan bahwa persoalan perambahan kawasan hutan merupakan isu strategis, tidak hanya di Kukar, tetapi juga di banyak daerah lain di Indonesia.
“Kukar ini sangat kaya dengan sumber daya alam, termasuk batu bara dan mineral. Bahkan saat rencana eksplorasi baru digulirkan, masyarakat sudah lebih dulu membuka lahan,” jelasnya.
Data penutupan lahan tahun 2024 menunjukkan, sekitar 68 ribu hektare di Kukar digunakan untuk tambang, 253 ribu hektare untuk perkebunan, dan 21 ribu hektare untuk pemukiman. Meskipun tidak seluruhnya berada dalam kawasan hutan, jumlah tersebut mengindikasikan tekanan besar terhadap tutupan hutan.
Lebih memprihatinkan lagi, sebagian kawasan hutan lindung dan suaka alam juga ikut terancam. Dari total kawasan hutan Kukar, sekitar 240 ribu hektare adalah hutan lindung dan 136 ribu hektare masuk kategori kawasan konservasi.
Kepala Seksi Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan KPHP Sub DAS Belayan, Fitriady Helfian, mengakui bahwa kawasan hutan di wilayah Kota Bangun, Muara Wis, Muara Kaman, Kenohan, Kembang Janggut, dan Tabang mengalami penyusutan signifikan. Dari luasan semula 1.012.337 hektare pada Oktober 2024, saat ini hanya tersisa sekitar 990 ribu hektare.
“Sebagian kawasan memang berstatus HPK (Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi), sehingga perubahan peruntukan dimungkinkan dalam kerangka review tata ruang wilayah provinsi,” terangnya.
*Tantangan Keterlanjuran dan Solusi Pemerintah*
La Taati menyoroti isu “keterlanjuran” sebagai tantangan besar dalam pengelolaan kawasan hutan. Keterlanjuran merujuk pada penguasaan atau pemanfaatan lahan hutan yang telah berlangsung lama tanpa izin, baik oleh masyarakat maupun korporasi.
Ia menjelaskan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja membedakan perlakuan terhadap keterlanjuran oleh masyarakat berdasarkan lamanya penguasaan lahan. Untuk lahan yang dikuasai sebelum tahun 2000 selama lebih dari 20 tahun, masyarakat dapat diberikan toleransi dengan batas maksimal 5 hektare per orang. Sedangkan keterlanjuran setelah 2000 hingga sebelum 2020 akan dikenai sanksi administratif dan denda. Jika terjadi setelah 2020, sanksi pidana langsung diterapkan.
“Sementara untuk korporasi, keterlanjuran diatur melalui pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja dengan konsekuensi denda administratif bagi yang tidak memiliki izin,” tegasnya.
Sebagai langkah konkret penanganan, Presiden RI Prabowo Subianto telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Perpres ini membentuk Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang diketuai langsung oleh Menteri Pertahanan.
Satgas tersebut memiliki wewenang untuk menindak keterlanjuran penggunaan lahan hutan dengan sanksi administratif, pengambilalihan kawasan hutan, hingga pemulihan aset negara.
Di Kalimantan Timur, Satgas saat ini sedang memfokuskan penertiban terhadap keterlanjuran oleh korporasi. Penanganan terhadap keterlanjuran oleh masyarakat akan menyusul.
“Tapi pasti semua akan ditertibkan, baik korporasi maupun masyarakat,” pungkas La Taati.(atr/ob1/ef)








